• FootNote adalah catatan kaki pada halaman untuk menyatakan sumber suatu kutipan;
  • 1.  FootNote dapat pula berisi komentar atas hal yang dikemukakan dalam teks atau komentar yang  
  •      apabila diletakkan dalam teks akan mengalihkan alur penuturan;
  • 2.  Nomor FootNote dimulai dari Nomor 1 dan berurut hingga akhir thesis;
  • 3.  Isi Footnote bisa berupa: 

BUKU
Pengarang 1 sampai 3 orang:
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 23
Abdul R. Salian, Hermansyah, dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Kencana Prenada Media Group, 2005, hal. 25

Pengarang Lebih dari 3 orang:
Philipus M. Hadjon, et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajahmada University Press, Yogyakarta, 1995, hal. 67

Kumpulan Karangan, cantumkan editornya saja:
Tim Lindsey, (ed.), Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, PT. Alumni, Bandung, 2006, hal. 28

Tidak ada Pengarang tertentu karena dikarang oleh badan, lembaga, perkumpulan, perusahaan negara, dll:
Balai Kursus Pendidikan Dosen, Pelatihan Dosen AA, USU Press, Medan, 2004, hal. 3

Buku Terjemahan:
Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara, terjemahan Soemardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 299

Jurnal:
T. Keizerina Devi, "Perkembangan Hukum Perdata Sejak Masa Kolonial Sampai Kemerdekaan", Citra Justicia, Volume II No.2, Desember 2006, hal. 4

Majalah:
Mochtar Naim, "Mengapa Orang Minang Merantau?", Tempo, 31 Januari 1975, hal. 39

SURAT KABAR
Berita (Tanpa Penulis):
"Tiga Pejabat PT.Pos Tersangka Korupsi", Waspada, Sabtu, 1 Maret 2008, hal. 1

Artikel dalam Surat Kabar:
Fajar As., "Gugatan Terhadap Serdang Bedagai", Waspada, Sabtu, 1 Maret 2008, hal. 6

Tajuk/ Editorial/ bagian dari surat kabar:
"The Editorial", The Washington Post, 13 Juni 2007, hal. 4

INTERNET
Tanpa Judul dan Penulis:
International Labor Organization Conference Session, http://www.contoh.com/c/32451/conference.htm, terakhir diakses 24 Desember 2009.

Dengan Judul dan Penulis:
Thomas Riley Marshall, "The U.S. Marshall", http://www.contoh.com/c/32451/u.s.marshall.htm, terakhir diakses 24 Oktober 2010.

UNDANG-UNDANG
Undang-Undang No.33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan

Thesis/Disertasi
T. Keizerina Devi, Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum, Studi mengenai Penghapusan Poenale Sanctie di Sumatera Timur (1870-1950), Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2004, hal. 29

Fachruddin, Analisis Yuridis Tentang Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Dengan Prinsip Bagi Hasil (Mudharabah) pada PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Medan, Thesis, Ilmu Hukum, Pascasarjana, USU, 2008.

PIDATO
Erman Rajagukguk, "Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia", Pidato pada Dies Natalis Universitas Sumatera Utara ke 44, Medan, 20 Nopember 2001, hal. 4 

Perhatikan contoh penggunaan catatan kaki yang digunakan pada buku Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer karya Jujun Suriamiharja berikut! Perhatikan pula nomor pada teks dan keterangan sumbernya pada catatan kaki.

   --------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ilmu dan Moral
Penalaran otak orang itu luar biasa, demikian simpulan ilmuwan kerbau dalam makalahnya, namun mereka itu curang dan serakah ... .1) Adapun sebodoh-bodoh umat kerbau, sungguh menggelitik nurani kita. Benarkah bahwa makin cerdas maka makin pandai kita menemukan kebenaran, makin benar maka makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia yang mempunyai penalaran tinggi, lalu makin berbudi sebab moral mereka dilandasi analisis yang hakiki, ataukah malah sebaliknya: makin cerdas maka makin pandai pula kita berdusta? Menyimak masalah ini, ada baiknya kita memperhatikan imbauan Profesor Ace Partadiredja dalam pidato pengukuhannya selaku guru besar ilmu ekonomi di Universitas Gajah Mada, yang mengharapkan munculnya ilmu ekonomi yang tidak mengajarkan keserakahan?2)

...............................................................
1) Taufiq Ismail, Membaca Puisi, Taman Ismail Marzuki, 30-31 Januari 1980.
2) Kompas, 25 Mei 1981.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bagi penulis, penggunaan catatan kaki ini sedikit lebih merepotkan dibandingkan dengan cara Harvard karena harus mengatur ruang pada bagian bawah halaman untuk tempat catatan kaki. Akan tetapi, bagi pembaca catatan kaki ini sangat memudahkan mengetahui sumber tanpa harus melihat daftar pustaka yang letaknya di bagian akhir buku.


Catatan kaki untuk buku dimulai dengan nama pengarang diikuti koma, judul buku (ditulis dengan huruf awal kapital dan dicetak tebal atau dicetak miring), nomor seri, jilid dan nomor cetakan (kalau ada), kota penerbit (diikuti titik dua), nama penerbit (diikuti koma), dan tahun penerbitan (ditulis dalam kurung dan diakhiri dengan titik).


Catatan kaki untuk artikel dan majalah dimulai dengan nama pengarang, judul artikel, nama majalah, nomor majalah jika ada, tanggal penerbitan, dan nomor halaman. Jika dari sumber yang sama dikutip lagi, pada catatan kaki ditulis ibid. (singkatan dari ibidum) yang artinya sama persis sumbernya dengan catatan kaki di atasnya. Jadi mirip dengan idem atau sda. Untuk sumber yang telah disisipi sumber lain, digunakan istilah op. cit. (singkatan dari opere citato). Untuk sumber dari majalah dan koran yang telah disisipi sumber lain digunakan istilah loc. cit. (singkatan dari loco citato).

Perhatikan contoh berikut!


.........................................................
2 Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar (Jakarta: Depdikbud, 1988), hal. 18.
3 Nurhadi, Membaca Cepat dan Efektif (Bandung: Sinar Baru, 1986), hal. 25
4 Ibid., hal. 15
5 Ratna Wilis Dahar, op.cit., hal. 17


Catatan kaki di atas menunjukkan bahwa sumber nomor 4 sama dengan sumber nomor 3. Sumber nomor 5 sama dengan nomor 2.

Dalam sebuah karya ilmiah, penulis biasanya mempunyai daftar sumber informasi yang bisa menjadi rujukan para pembaca. Daftar ini disebut sebagai catatan kaki atau footnote dalam bahasa Inggris.

Karya ilmiah yang mencantumkan catatan kaki menunjukkan bahwa kualitas karya ilmiah tersebut lebih tinggi dan meningkatkan estetika penulisan. Keberadaan catatan kaki juga dapat memudahkan para pembaca untuk melihat sumber informasi yang dibutuhkan.

Catatan kaki memiliki dua bentuk, yaitu berupa referensi dan berupa keterangan tambahan. Catatan kaki yang berupa referensi merupakan pengakuan akan sumber informasi, pembuktian kutipan naskah, dan memberikan dukungan argumentasi atau pembuktian.

Sementara itu, catatan kaki yang berupa keterangan tambahan bisa memberikan penjelasan tambahan, memperjelas konsep, definisi dalam bentuk komentar, atau uraian tambahan sehingga menjadi uraian yang utuh.

Metode Penulisan Catatan Kaki
Berikut ini adalah metode penulisan catatan kaki.
  1. Catatan kaki dipisahkan dari naskah halaman yang sama dengan jarak tiga spasi.
  2. Antarcatatan kaki dipisahkan dengan satu spasi.
  3. Catatan kaki lebih dari dua baris diketik dengan satu spasi.
  4. Catatan kaki diketik sejajar dengan margin.
  5. Nomor urut angka Arab dan tidak diberi tanda apapun.
  6. Nomor urut ditulis lebih kecil dari hurup lainnya, misalnya font size 10.
Catatan kaki yang berupa rujukan atau data pustaka ditulis berdasarkan cara berikut ini.

  1. Nama pengarang tidak dibalik urutannya atau sama dengan nama pengarang yang tertulis pada buku dan diikuti koma.
  2. Jika nama yang ditulis lengkap disertai gelar akademis, catatan kaki mencantumkan gelar tersebut.
  3. Judul karangan dicetak miring, tidak diikuti koma.
  4. Nomor halaman dapat disingkat hlm. atau h. Angka nomor halaman diakhiri tanda titik (.).
Contoh:

1 William N. Dunn, Analisis Kebijaksanaan publik, terj. Muhajir Darwin, (Yogyakarta: Hanindita, 2001), 20-32

2Dr. Albert Wijaya, “Pembangunan Pemukiman bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah di Kota,” dalam Prof. Ir. Eko Budiharjo, M.Sc. (Ed), Sejumlah Masalah Pemukiman Kota, (Bandung: Alumni, 1992), 121-124.

Penulisan Ibid, Op.Cit. dan Loc. Cit.

Untuk memendekkan penulisan informasi pustaka dalam catatan kaki, lazim digunakan singkatan Ibid, Op.Cit. dan Loc. Cit. penjelasannya adalah sebagai berikut.

  • Ibid merupakan singkatan dari kata Latin ibidem, yang berarti 'pada tempat yang sama' dengan di atasnya. Singkatan ini dipergunakan bila catatan kaki berikutnya merujuk pada karya atau artikel yang telah disebut dalam catatan nomor sebelumnya. Ibid ditulis di bawah catatan kaki yang mendahuluinya dan diketik atau ditulis dengan huruf kapital pada awal kata, dicetak miring, dan diakhiri titik. Apabila halamannya sama, hanya digunakan singkatan Ibid, tetapi bila referensi berikutnya berasal dari halaman lain, urutan penulisannya adalah Ibid, halaman.
  • Op.Cit. merupakan singkatan dari kata Latin Opere Citato, yang berarti 'pada karya yang telah dikutip'. Singkatan ini digunakan bila menunjukkan buku sumber yang telah disebutkan dan diselingi sumber lain. Op.Cit. ditulis dengan huruf kapital pada awal suku kata, dicetak miring, dan setiap suku kata diikuti titik (.). Urutan penulisannya adalah nama family pengarang, Op.Cit., halaman.
  • Loc. Cit. merupakan singkatan dari kata Latin Loco Citato, yang berarti 'pada tempat yang telah dikutip'. Loc. Cit. biasanya digunakan untuk menunjuk atau menyebut sumber yang sama berupa artikel majalah, ensiklopedi, jurnal yang telah disebut sebelumnya, tetapi diselingi sumber lain. Jika halaman sumber sama, kata Loc. Cit. tidak diikuti nomor halaman. Akan tetapi, jika halaman sumber berbeda, kata Loc. Cit. diikuti nomor halaman. Urutan penulisannya adalah nama family pengarang, Loc. Cit.
Contoh:

1Daniel Goleman, Emotional Inteligence, (Jakarta: Gramedia, 2001), h. 43-156.

2Ibid, 210.

3Satjipto Rahardjo, Hukum Masyarakat dan Pembangunan, (Bandung: Alumni, 1976), 111.

4Goleman Op.Cit. 175

5Rahardjo, Loc.Cit.

Catatan kaki memiliki tempat khusus dalam karya tulis ilmiah. Keberadaan catatan kaki memberikan penilaian yang lebih berkualitas bagi suatu karya tulis ilmiah.

Hal ini menunjukkan bahwa karya tulis tersebut memiliki kejujuran intelektual, bukan plagiat dan mempertinggi estetika. Dengan demikian, catatan kaki merupakan bagian yang integral dalam karya tulis ilmiah sehingga setiap penulis perlu memperhatikan sistematika penulisan dalam menyusun catatan kaki.

Dalam sebuah buku sering ditulis kata ibid sebagai catatan kakinya… memang sebenarnya apa yang dimaksud ibid?
Ibid (dari bahasa Latin, kependekan dari kata “ibidem” yang berarti “tempat yang sama”) adalah istilah yang digunakan pada catatan kaki atau referensi yang menunjukkan bahwa sumber yang digunakan tersebut telah dikutip juga pada catatan kaki sebelumnya. Hal seperti ini sama artinya juga dengan idem (yang berarti telah disebutkan sebelumnya atau sama) disingkai “Id.,” yang umum digunakan pada kutipan legal.
Contoh penggunaan ibid:
[1] Ferdian., “tindakan kecil orang-orang besar”, RumbiPress, 2010, hal.23
[2] Ibid
[3] Id. at 29.
Referensi dari catatan kaki no. 2 adalah sama dengan no. 1
(Ferdian, “tindakan kecil orang-orang besar” pada hal 23), sedangkan referensi no 3 menunjukkan sumber yang sama tetapi hal yang berbeda, halaman 29.
Sumber dari ibid adalah tepat pada no sebelumnya.
Selain ibid, juga dikenal bahasa kutipan lain yaitu Op.Cit (opere citato/kutipan sebelumnya yang telah diselangi oleh kutipan sumber lain) dan loc.cit (locere citato=kutipan yang telah disebutkan pada halaman/bab selanjutnya). Penggunaan loc.cit dan Op.Cit sekarang sudah jarang digunakan lagi.
Dalam metode kutipan Kate.L.Turabian (oxford) kutipan tersebut diganti dengan sebagian nama penulis, sebagian nama buku, dan halaman.
Contoh penggunaan Op.Cit:
1Satjipto Raharjo, Hukum Masyarakat dan Pembangunan (Bandung: Alumni, 1976), 111.
2Daniel Goleman, Emotional Intelligence. (Jakarta: Gramedia, 2001), 161.
3Bobby dePorter & Mike Hernacki, Quantum Bussiness, terj. Basyarah Nasution, (Bandung: Kaifa, 2000), 63-87.
4Rahardjo, Op.Cit., 125.
Contoh penggunaan lo.cit:
1Sarwiji Suwandi, “Peran Guru dalam Meningkatkan Kemahiran Berbahasa Indonesia Siswa Berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi”, Kongres Bahasa Indonesia VIII, (Jakarta : Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2003), 1-15.
2Suwandi, Loc.Cit

 
Picture
‘ULÛM AL-QUR’AN

(Ontologi, epistemologi, aksiologi dan sejarahnya)

Oleh : Nasuhi, Yosef Farhan Dafiq

Abstrak

Kajian tentang Al-Quran menempati posisi sentral dalam studi-studi keislaman. Al-Quran di samping berfungsi sebagai huda (petunjuk), juga berfungsi sebagai furqan (pembeda). Ia menjadi tolok ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan.Dalam memahami Al-Qur’an diperlukan beberapa pendekatan keilmuan, salah satunya adalah ‘Ulῡm al-Qur’an yang memiliki sub-sub bidang kajian guna memahami  Al-Qur’an. Untuk mempelajari Al Quran secara menyeluruh, kaum muslimin harus mengetahui ruang lingkup pembahasan Ulῡm al-Qur’an serta metode yang digunakan para Ulama dalam memperoleh ilmu-ilmu tersebut. dapat ditelaah berdasarkan ilmu pengetahuan yang bertumpu pada tiga cabang filsafat yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hasil kajian pada masalah ini tentunya akan semakin mempertebal keimanan seorang muslim terhadap Al-Quran sebagai kitab sucinya dan dapat dijadikan landasan pokok dalam pengembangan ilmu-ilmu lainnya.
Kata Kunci: Ulῡm al-Qur’an, , al-qur’an, sejarah

Pendahuluan

Al-qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. lewat perantara malaikat Jibril. Al-Qur’an merupakan sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalah dan sebagainya.

dan Kami turunkan kitab (Al Quran) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (muslim)[1]

Mempelajari isi Al-qur’an akan menambah perbendaharaan baru, memperluas pandangan dan pengetahuan, meningkatkan perspektif baru dan selalu menemui hal-hal yang selalu baru. Lebih jauh lagi, kita akan lebih yakin akan keunikan isinya yang menunjukan Maha Besarnya Allah sebagai penciptanya.

dan Sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah kitab (Al Quran) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.[2]

Mengingat Al-Qur’an sebagai pedoman hidup bagi manusia, oleh karena itu harus dipelajari dan dikaji secara mendalam. Untuk dapat mengetahui isi kandungan Al-Qur’an diperlukan sebuah ilmu yang mempelajari tentang Al-Qur’an secara detail, yaitu Ulῡm al-Qur’an. Pembahasan mengenai Ulῡm al-Qur’an ini insya Allah akan dibahas pada makalah ini.

1. ‘Ulûm al-Qur’an dalam Perspektif Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

Ada tiga prasyarat utama bangunan sebuah ilmu, yaitu (1) apa hakikat ilmu itu sesungguhnya atau apa yang ingin diketahui, (2) bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut, dan (3) apa fungsi pengetahuan tersebut bagi manusia. Pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan hal pertama berkenaan dengan landasan ontologis, pertanyaan kedua berkenaan dengan landasan epistimologis, dan pertanyaan ketiga berkaitan dengan landasan aksiologis.

‘Ulûm al-Qur’an juga memiliki struktur keilmuan seperti di atas, yaitu apa yang ingin diketahui dari ‘ulûm al-Qur’an? Hal ini menjadi basis ontologis ‘ulûm al-Qur’an. Bagaimana cara mendapatkan ‘ulûm al-Qur’an? Menjadi basis epistimologis ‘ulûm al-Qur’an. Apa manfaat dari ‘ulûm al-Qur’an? menjadi basis aksiologis ‘ulûm al-Qur’an.

1) Ontologi ‘Ulum al-Qur’an

Dalam sudut pandang ontologi, yaitu apa yang dipelajari oleh ‘ulum al-Qur’an. Dengan menganalisa pengertian ulum al-Qur’an baik secara etimologi maupun terminologi maka tergambarlah objek yang akan menjadi kajiannya.

Kata ulûm al-Qur’an berasal dari bahasa Arab, terdiri dari kata ‘ulûm dan al-Qur’an. Kata ‘ulûm merupakan bentuk jamak dari ilmu yang secara etimologis berarti ilmu-ilmu.[3] Menurut Manna’ al-Qaththan, ‘Ulûm merupakan bentuk jama dari ‘Ilmu  yang berarti al-fahmu wa al-Idrâk berarti faham dan  menguasai. Kemudian arti kata ini berubah menjadi permasalahan yang beraneka ragam yang disusun secara ilmiah.[4]

Al-Qur’an secara etimologis  diambil dari   قرا    يقرا  قران sewajan dengan kata  فعلا ن  berarti bacaan. Dalam pengertian ini kata  قران   berarti       مقروء yaitu isim maf’ul ( objek ) dari قرا .[5] Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surat al-Qiyamah (75): 17-18:

¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd mtR#uäöè%ur   #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$sù mtR#uäöè% 

Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.  Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah : 17-18).

Al-Qur’an secara terminologis terdapat beberapa pengertian  sebagaimana di tuliskan Ash-Shidiqie sebagai berikut : [6]

§  Ahli Ushul Fikih menyatakan  Al-Qur’an adalah  nama bagi keseluruhan Al-Qur’an dan nama untuk bagian-bagiannya.

§  Ahli ilmu kalam menyatakan  Al-Qur’an adalah kalimat-kalimat ghaib yang azali sejak dari awal al-Fatihah sampai akhir an-Nas, yaitu lafaz-lafaz yang terlepas dari sifat kebendaan, baik secara dirasakan, dikhayalkan  ataupun lain-lainnya  yang tersusun pada sifat Allah yang qadim.

§  As-Syuyuthy dalam kitab Al-Itman, Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad yang tidak dapat ditandingi  oleh yang menantangnya walaupun sekedar satu ayat saja, dan merupakan ibadah bagi yang membacanya.

§  Asy-Syaukani dalam Al-Irsyad, Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad yang ditilawahkannya dengan lisan lagi mutawatir penukilannya.

Dengan melihat beberapa pengertian tentang Al-Qur’an, dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an adalah kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad Saw yang membacanya merupakan ibadah. Hal ini dengan dasar Al-Qur’an merupakan informasi yang langsung dari Allah dan diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. Wahyu Allah yang diberikan kepada selain dia tidak disebut Al-Qur’an, seperti kepada Nabi Musa disebut kitab Taurat. Membacanya merupakan ibadah sebagai pembeda antara Al-Qur’an dengan Al-Hadis, karena hadis keluar dari Nabi, tetapi membacanya tidak termasuk ibadah.

Sedangkan pengertian ‘Ulum al-Qur’an dapat dikaji  dari berbagai sumber :

1.     Menurut Manna’ al-Qaththan[7]

العلم الذي يتناول الا بحاث المتعلقة بالقران من حيث  اسباب  وجمع القران وترتيبه ومعرفة المكى والمدنى والناسخ  والمنسوخ والمحكم والمتشبه الى       غير ذلك مما له صلة بالقران

Ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan al-Qur’an, dari sisi informasi tentang asbab an-nuzulnya, kodifikasi dan tertib penulisan al-Qur’an, ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah dan ayat-ayat yang diturunkan di Madinah dan hal-hal yang berkaitan dengan al-qur’an.

2.    Menurut Az-Zarqani[8]

مباحث تتعلق بالقران الكريم من ناحية نزوله وترتيتبه وجمعه وكتابته وقراءته وتفسيره واعجازه وناسخه ومنسوخه ودفع الشبه عنهونحو ذلك

Beberapa pembahasan yang berkaiatan dengan al-Qur’an dari sisi turun, urutan penulisan, kodifikasi, cara membaca, kemukjizatan, nasikh mansukh, dan penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnnya, serta hal-hal lain.

Pengertian ulum dan Al-Qur’an jika digabung menjadi ‘ulûm al-Qur’an, maka secara etimologi adalah segala ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an.  Dengan pengertian ulum Al-Qur’an secara etimilogi, maka akan tercakup  di dalamnya berbagai disiplin ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an,seperti ‘Ilmu Tafsir al-Qur’an, Ilmu Qiraat, Ilmu Rasm al-Qur’an, ilmu I’jâz al-Qur’an, ilmu Asbâb  an-Nuzûl, ilmu Nâsikh wa al-Mansûkh, ilmu I’râb al-Qur’an, ilmu Ghârib al-Qur’an, Ulûm ad-Din, ilmu Lughah dan lain-lain. Ilmu-ilmu tersebut merupakan sarana dan cara untuk memahami al-Qur’an. Ulum al-Qur’an ini sering juga disebut ushul al-Tafsir (dasar-dasar tafsir), karena membahas beberapa masalah yang harus dikuasai  seorang mufasir sebagai sandaran dalam menafsirkan al-Qur’an.[9]

Secara garis besar objek  kajiannya disimpulkan oleh Hatta Syamsuddin, Lc, dalam Modul Ulum al-Qur’an sebagai berikut :[10]

a.   Sejarah dan perkembangan ulum al-Qur’an, meliputi  rintisan ulum al-Qur’an pada masa Rasulullah Saw, sahabat, tabi’in, tabi it-tabi’in, dan  perkembangan selanjutnya lengkap dengan nama-nama ulama dan karangannya di bidang ulum al-Qur’an di setiap zaman dan tempat.

b.   Pengetahuan tentang al-Qur’an, meliputi makna al-Qur’an, karakteristik al-Qur’an, nama-nama al-Qur’an, wahyu turunnya al-Qur’an, Ayat Makkiyah dan Madaniyah, asbab an-nuzul, dan sebagainya.

c.   Metodologi penafsiran al-Qur’an,  meliputi pengertian tafsir dan takwil, syarat-syarat mufassir dan adab-adabnya, sejarah dan perkembangan ilmu tafsir, kaidah-kaidah dalam penafsiran al-Qur’an, muhkam dan mutasyabih, ‘am dan khas, nasikh wa mansukh, dan sebagainya.

Dengan demikian kajian ulum al-Qur’an  adalah segala ilmu yang erat kaitan dengan intisari ajaran al-Qur’an baik dari segi penulisan, cara membaca, menafsirkan, asba an-Nuzul, nasikh mansukh, kemukjizatan maupun ilmu-ilmu sebagai sanggahan terhadap serangan atau yang melemahkan kemurnian al-Qur’an baik ditinjau dari aspek keberadaannya sebagai al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia atau berkaitan dengan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan aspek keperluan membahas al-Qur’an.

‘Ulûm al-Qur’an ini akan berkembang sesuai perkembangan waktu yang semakin kompleks dan global. ‘Ulûm al-Qur’an ada karena perkembangan masalah yang berhubungan dengan al-Qur’an. Hal ini tidak terlepas dari fungsi al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam.

Maka sebagai pedoman hidup dari segi al-Qur’annya tidak bertambah, akan tetapi dari segi sarana yang  dapat membantu memahami  al-Qur’an semakin hari semakin berkembang. Contoh ketika Al-Qur’an masih berada di kalangan bangsa Arab, al-Qur’an masih berupa tulisan yang tidak dilengkapi sakal.  Padahal sakal ini sangat dibutuhkan bagi kalangan non Arab, untuk membantu cara membaca, memahami al-Qur’an supaya tidak keliru.

2) Epistemologi ‘Ulûm al-Qur’an

Epistemologis dipahami sebagai sarana untuk meneliti prosedur-prosedur metodologis yang dibangun oleh beragam asumsi dengan cara mengkritisi serta mempertanyakan atau menguji kembali pengetahuan itu sendiri.

Sejarah perkembangan ‘Ulum Al-Quran dapat pula ditinjau dari sudut metode ‘Ulum Al-Quran. Walaupun disadari bahwa setiap fase mempunyai metode yang berbeda dalam penggalian ‘Ulum Al-Qura’n.[11]

1. Fase Sebelum Kodifikasi Qabl ‘Ashr At-Tadwin

Pada Fase Sebelum Kodifikasi, ‘Ulum Al-Quran sudah terasa semenjak Nabi Muhammad SAW masih ada. Setiap Rasulullah selesai menerima wahyu ayat Al-Quran, beliau menyampaikan wahyu itu kepada para sahabatnya. Rasulullah SAW menjelaskan tafsiran-tafsiran ayat Al-Quran kepada mereka dengan sabda, perbuatan, dan persetujuan beliau serta dengan akhlak-akhlak dan sifat beliau.

2. Fase Kodifikasi

Pada fase ini, ‘Ulum Al-Quran dan kitab-kitab keilmuan mulai dikodifikasi. Fenomena ini berlangsung ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abul Aswad Ad-Da’uli untuk menulis ilmu nahwu. Setelah itu pengkodifikasian ilmu semakin marak, terlebih-lebih pada masa pemerintahan bani Umayyah dan Bani ‘Abasiyyah.

Dengan demikian pada fase inilah terjadi perkembangan ‘Ulum Al-Quran yang menghasilkan ‘Ulum Al-Quran yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. ‘Ulum Al-Quran meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Quran, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan ilmu I’rab al-Quran. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya. Dalam kitab Al-Itqan, Assyuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu.[12] Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu al_Araby yang mengatakan bahwa ‘Ulum Al-Quran terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-Quran dengan dikalikan empat. Sebab, setiap kata dalam al-Quran mengandung makna Dzohir, batin, terbatas, dan tidak terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak terhitung.[13] Firman Allah :

@è% öq©9 tb%x. ãóst7ø9$# #YŠ#y‰ÏB ÏM»yJÎ=s3Ïj9 ’În1u‘ y‰ÏÿuZs9 ãóst6ø9$# Ÿ@ö7s% br& y‰xÿZs? àM»yJÎ=x. ’În1u‘ öqs9ur $uZ÷¥Å_ ¾Ï&Î#÷WÏJÎ/ #YŠy‰tB

Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).[14]

Metodologi ‘Ulum Al-Quran pada fase kodifikasi ini, secara umum terbagi atas dua bagian yaitu :[15]

2.1 Metode Transmisi (periwayatan).

Pada metode ini cara yang digunakan untuk mendapatkan ilmu ini adalah berdasarkan periwayatan dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung tentang turunnya ayat Al-Quran yang dimaksud. Cabang- cabang ‘Ulum Al-Quran yang menggunakan metode ini adalah : Asbab An-Nuzul, Makkiyyah dan Madaniyyah, Ilmu Qiraat, ilmu Nasikh-Mansukh.

2.2 Metode Analogi (Ijtihad).

Pada metode ini cara yang digunakan untuk mendapatkan ilmu ini adalah berdasarkan ijtihad jika tidak ditemukannya riwayat baik dari Nabi maupun para sahabat. Oleh karena itu tidak ada keharusan mencari riwayat pada setiap ayat. Hal ini disebabkan, Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur mengikuti berbagai kejadian yang ada. Sehingga seorang mufassir terkadang tidak menemukan sebab, pengertian dan keterkaitan antara ayat yang satu dengan yang lainnya.. Cabang- cabang ‘Ulum Al-Quran yang menggunakan metode ini adalah : Asbab An-Nuzul, Munasabah, Makkiyyah dan Madaniyyah, ilmu Nasikh-Mansukh, ilmu I’jazul Quran

3) Aksiologis ‘Ulûm al-Qur’an

Aksiologi dalam filsafat ilmu berbicara tentang kegunaan dari sebuah ilmu. Untuk apa ilmu itu dipelajari ? Apa nilai manfaat buat kehidupan manusia ?
Maka aksiologis ‘ulûm al-Qur’an tidak terlepas dari tujuan Al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur'an seperti diyakini kaum muslim merupakan kitab hidayah, petunjuk bagi manusia dalam membedakan yang haq dengan yang batil. Dalam berbagai versinya Al-Qur'an sendiri menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di antaranya bersifat transformatif. Yaitu membawa misi perubahan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan (Zhulumât) di bidang akidah, hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain kepada sebuah cahaya (Nûr) petunjuk Ilahi untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup manusia, dunia-akhirat. Dari prinsip yang diyakini kaum muslim inilah usaha-usaha manusia muslim dikerahkan untuk menggali format-format petunjuk yang dijanjikan bakal mendatangkan kebahagiaan bagi manusia.

Dalam upaya penggalian prinsip dan nilai-nilai Qur'ani yang berdimensi keilahian dan kemanusiaan itulah ‘ulûm al-Qur’an dihasilkan. Sementara tujuan pokok Al-Qur’an seperti dipaparkan Quraish Shihab adalah :[16]

a.   Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.

b.   Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalam menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.

c.   Petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya.

Merujuk pada pengertian di atas, maka disiplin ‘ulûm al-Qur’an memiliki urgensi yaitu untuk mengetahui isi kandungan Al-Qur'an dengan memahami berbagai petunjuk dan informasi yang ada di dalamnya.

Melaksanakan ajaran Islam tidaklah akan berhasil kecuali dengan memahami dan menghayati Al-Qur’an terlebih dahulu, serta berpedoman atas nasihat dan petunjuk yang tercakup di dalamnya. Untuk itulah diperlukan ‘ulûm al-Qur’an, yang merupakan kunci pemahaman kita terhadap Al-Qur’an.
Seseorang yang membaca Al-Qur’an seharusnya mempelajari aturan-aturan tentang hukum-hukum Al-Qur’an, sehingga dapat memahami kehendak Allah SWT, dan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya. Maka dengan cara itu niscaya pembaca akan mengetahui manfaat dari bacaannya dan dapat mengamalkan apa yang telah dibaca.

Sehingga dapatlah  dikatakan bahwa tujuan mempelajari ulum al-Qur’an ini adalah antara lain sebagai berikut:

a.    Memperoleh keahlian dalam mengistimbath hukum syara’ baik mengenai keyakinan atau I’tiqad , amalan, budi pekerti maupun lainnya.

b.    Memudahkan umat Islam dalam membaca, memahami kandungan al-Qur’an.

c.    Mengurangi perbedaan pemahaman-pemahaman yang prinsipil.

d.    Menggali kandungan yang terdapat dalam al-Qur’an

e.    Menguatkan keimanan dan solidaritas terhadap ajaran al-Qur’an.

f.     Menjelaskan kelebihan-kelebihan al-Qur’an sebagai wahyu Allah bila dibandingkan dengan kitab suci lainnya.

g.    Mempersenjatai diri dari serangan yang melemahkan al-Qur’an dari waktu ke waktu.

2. Sejarah Perkembangan ‘Ulûm al-Qur’an

Substansi ‘ulûm al-Qur’an apabila dilihat dari sejarah sudah ada sejak masa Nabi Muhammad Saw. Keterangan yang beliau berikan kepada para sahabat secara langsung mengenai wahyu yang diterima merupakan bagian dari materi ulum al-Qur’an.  Namun ulum al-Qur’an  sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri lahir pada abad ke-3 Hijriyah, ini pun masih diperdebatkan tergantung pada kitab yang dirujuk sebagai karya pertama dalam bidang ulum al-Qur’an. Hal ini tentu membutuhkan fakta sejarah berupa kitab yang membahas ulum al-Qur’an secara langsung.

Istilah ‘ulûm al-Qur’an dengan arti yang  lengkap baru lahir pada abad ke-5 Hijriyah, setelah seorang ulama bernama Ali Ibn Ibrahim ibn Said yang dikenal sebagai Al-Hufi, menyusun kitab bernama Al-Burhan fi ulum al-Qur’an. Beliau wafat pada tahun 330 Hijriyah. Kitab ini membahas tentang lafal-lafal yang gharib  tentang I’rab dan tafsir. Karya  al-Hufi ini dianggap telah memenuhi standar ulum al-Qur’an, karena cabang-cabang ulum al-Qur’an sudah dibahas di buku tersebut.[17]

Sejarah perkembangan ulum al-Qur’an ini dibagi kepada beberapa periode sejarah sebagai berikut:

Menurut Dr. Rosihan Anwar, sejarah perkembangan Ulum al-Qur’an dibagi ke dalam dua periodisasi besar yaitu qabl `ashr at-Tadwîn ( fase sebelum kodifikais ) dan fase kodifikasi. Lebih lanjut ia menjelaskan fase sebelum kodifikasi dimulai sejak masa Nabi Saw masih ada sampai abad I Hijriyah di mana Khalifah Ali bin Abi Thalib memerintahkan kepada Abu Aswad ad-Du’ali untuk menuliskan ilmu nahwu. Sedangkan fase kodifikasi dimulai dari masa setelah perintah Ali bin Abi Thalib tersebut kepada Abu Aswad ad-Du’ali yang semakin berkembang pada masa Bani Umayah dan Bani Abbasiah.[18]

 

a. Qabl `Ashr At-Tadwîn ( Fase Sebelum Kodifikasi )

Pada masa Rasulullah Saw, para sahabat dapat merasakan keindahan uslub-uslub bahasa Arab yang tinggi dan  memahami ayat-ayat yang terang dan jelas pengertiannya yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. Apabila terjadi kemusykilan, mereka segera bertanya kepada beliau, dan beliau langsung menjawabnya. Para sahabat pada saat itu tidak merasa perlu untuk menuliskan dalam ilmu-ilmu al-Qur’an karena segala permasalahan yang berhubungan dengan pemahaman, bacaan, maksud dan segala hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an dapat ditanyakan langsung kepada Beliau. Hal ini juga didukung karena pada saat itu alat-alat tulis tidak mudah mereka peroleh. Selain itu juga pada masa Rasulullah Saw ada larangan untuk menuliskan apa yang mereka dengar  dari Beliau selain dari Al-Qur’an, karena beliau khawatir akan bercampur antara Al-Qur’an dengan yang bukan Al-Qur’an

Kondisi masyarakat Islam pada masa Rasulullah Saw masih sederhana, dimana Islam masih seputar  Makkah dan Madinah, sehingga problematika masyarakat tentang  Al-Qur’an belum banyak mengalami kendala yang berarti. Hal ini akan berbeda jika Islam sudah menyebar ke seluruh pelosok dunia, kebutuhan akan penjelasan, tatacara membaca maupun hal-hal lainnya akan berkembang menjadi semakin kompleks, karena semakin luas suatu wilayah akan terdapat keaneka ragaman budaya, yang akan menimbulkan perbedaan-perbedaan pemahaman tentang Al-Qur’an.

Pada masa Abu Bakar  ra.  dan Umar ra. Al-Qur’an disampaikan dengan jalan talqin dan musyafahah dari mulut ke mulut.[19] Sedangkan pada masa Usman bin Affan, Islam sudah semakin luas dan berkembang ke luar bangsa Arab, sehingga timbul bahasa-bahasa arab dan selain arab ( azam), ditambah lagi para penghafal Al-Qur’an dari kalangan sahabat sudah banyak yang gugur di medan perang dalam perluasan dan penyebaran Islam. Percekcokan dialek cara membaca Al-Qur’an sudah mulai ditemukan, Usman mengambl tindakan mengumpulkan para penghafal Al-Qur’an  dan segera membentuk panitia penulisan Al-Qur’an dengan menunjuk sekretaris Rasulullah yaitu Zaid bin Sabit  menjadi ketua panitia pembukuan Al-Qur’an.

Pembukuan Al-Qur’an pada masa Usman ini dimotivasi karena banyak terjadi perselisihan di dalam cara membacanya, pada saat itu sudah berada pada titik umat Islam saling menyalahkan  yang pada akhirnya terjadi perselisihan di antara mereka. Setelah proses pembukuan Al-Qur’an yang dikenal dengan mushaf Usmani atau Al-Mushaf,  kemudian diperbanyak dan segera dikirim ke kota-kota besar yang penduduknya sudah menganut agama Islam, salah satu mushaf di simpan di kediaman Usman yang kemudian dikenal dengan Mushaf Al-Imam. Sedangkan naskah asli Al-Qur’an yang sebelumnya disimpan di rumah Hafsah, salah seorang janda dari Rasulullah Saw diperintahkan untuk dibakar untuk menghindari perbedaan-perbedaan mengenai Al-Qur’an yang lebih krusial lagi.  Usman melarang membaca Al-Qur’an yang tidak bersumber dari Al-Mushaf tersebut. Tindakan Usman ini merupakan awal perkembangan ilmu rasm al-Qur’an.

Istilah rasm Al-Qur’an atau rasm usmani adalah tatacara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khalifah Usman bin Affan. Istilah ini lahir bersamaan dengan lahirnya mushaf usmani yang ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari Zaid bin Sabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-Ash dan Abdurahman bin Al-Haris. Mushaf usmani ini menggunakan kaidah al-hadzf ( membuang, menghilangkan atau meniadakan huruf),  al-Ziyadah ( penambahan), al-Hamzah (salah satu kaidahnya berbunyi apabila hamzah berharakat sukun,ditulis dengan huruf yang berharakat yang sebelumnya), badal ( pengganti), washal dan fashal  (penyambungan dan pemisahan), dan kata yang dapat dibaca dua bunyi ditulis dengan menghilangkan alif.

Pada Masa pemerintahan Ali ra., beliau memerintahkan Abu Aswad ad-Dualy ( wafat 69 H.) membuat beberapa kaidah untuk memelihara keselamatan bahasa Arab sebagai I’rab al-Qur’an. Maka dapatlah dikatakan bahwa Ali ra. merupakan tokoh pertama yang berjasa dalam peletakan ulum al-Qur’an di bidang I’rab al-Qur’an.[20]

Tokoh-tokoh ilmu yang merintis ilmu-ilmu al-Qur’an  pada abad I sebagai fase qabla Tadwin adalah sebagai berikut :[21]

1)     Dari kalangan sahabat : Khulafa ar-Rasyidin, Ibnu  Abbas,Ibnu Mas’ud,Zaid ibnu Sabit, Ubay ibnu Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah ibnu Zubair.

2)     Dari kalangan tabi`in: Mujahid, ‘Atha bin Yassar, Ikrimah, Qatadah, al-Hasan al-Bashri, Sa’id bin Zubair, Zaid bin Aslam.

3)     Dari kalangan ‘atba’ tabi’in : Malik bin Anas.

Maka peletakan dasar ulum al-Qur’an yang sudah berkembang pada abad I Hijriyah  adalah  dengan cara disampaikan melalui talqin  antara lain :[22]

1)   Ilmu Tafsir

2)   Ilmu Asbab an-Nuzul

3)   Ilmu al-Makky wa al-Madany

4)   Ilmu Nasikh wa al-Mansukh

5)   Ilmu gharib al-Qur’an

Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari  Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Masud dan Ubai bin Kaab, dan apa yang diriwayatkan dari mereka tidak berarti merupakan sudah tafsir  al-Qur’an yang sempurna. Tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsiran apa yang masih samar dan penjelasan apa yang masih global

Peranan Tabi’in dalam penafsiran Al-Qur’an & Tokoh-tokohnya Mengenai para tabi’in, diantara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini dari para sahabat disamping mereka sendiri  bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat. Yang terkenal di antara mereka , masing-masing sebagai berikut :

o  Murid ibnu Abbas di Mekah yang terkenal ialah:  Sa’id bin  ubair, Mujahid, Ikrimah bekas sahaya ( maula ) ibnu Abbas, Tawus bin kisan al -Yamani dan A’ta’ bin abu Rabah.

o  Murid  ubai bin Kaab, di Madinah : Zaid bin Aslam, abul ‘Aliyah, dan Muhammad bin Ka’b al Qurazi.

o  Murid Abdullah bin Masud di Iraq yang terkenal : ‘Alqamah bin Qais, Masruq al-Aswad bin Yazid, ‘Amir as Sya’bi, Hasan al- Basyri dan Qatadah bin Di’amah as Sadusi[23]

Yang diriwayatkan mereka itu semua meliputi ilmu tafsir, ilmu Gharibil Qur’an,ilmu asbâb al-nuzûl, ilmu Makki wa al-madani dan imu nasikh dan mansukh, tetapi semua ini tetap didasarkan pada riwayat dengan cara didiktekan.

b. Masa Tadwin (Kodifikasi)

1) Abad  II Hijriyah

Pada abad ke dua, ulum al-Qur’an berkisar di sekitar tafsir al-Qur’an yang lebih dikenal sebagai kodifikasi pendapat-pendapat dari para sahabat dan tabi’in. Pada abad ini para ulama memberikan prioritas perhatian kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai Umm al-Ulum ( induk ilmu-ilmu al-Qur’an). Di antara beberapa ulama terkenal pada abad ini adalah  sebagaiman ditulis  Manna al-Qaththan adalah: Yazid bin Harun al-Silmi ( wafat 117 H),   Syu’bah ibnu Hajjaj  ( wafat 160 H), Waqi’ bin Jarh (wafatb198 H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H ), Abdu al-Razaq  bin Hamam ( wafat 211 H). Akan tetapi ulama-ulama tersebut  menafsirkan al-Qur’an berdasarkan hadis yang mereka terima. Namun sayang kitab tafsir mereka tidak sampai ke tangan kita.[24]

Kemudian setelah itu muncullah salah satu tokoh terkenal ahli tafsir pada saat itu adalah Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat tahun 310 Hijriyah). Tafsirnya berkisar seputar  tafsir bi al-masyur atau tafsir bi al-manqul dengan meliputi riwawat-riwayat yang shahih, I’rab, istinbath, dan pendapat para ulama. Setelah itu baru mulai ada ulama yang menafsirkan bi al-ra’yi.

2) Abad III Hiriyah

Pada abad ke Tiga Hijriyah, di antara ulama yang terkenal pada abad ke ini adalah Ali bin al-Madiny Syaikh al-Bukhari (wafat 234 Hijriyah) yang mengarang tentang Asbâb al-nuzûl,  Abu Ubed al-Qasim bin Salam     ( wafat 224 Hijriyah) mengarang tentang al-Nasikh wa al-Mansukh, dan al-Qira’at,   Ibnu Qutaibah ( wafat 276 Hijriyah) mengarang tentang Musykil al-Qur’an, Muhammad ibn Ayyub adh-Dhiris (wafat 294 H)  tentang ilmu Ma Nuzilla bi    al-Makkah wama Nuzzila bi  al-Madina.

3) Abad IV Hijriyah

Pada  abad ke-4 Hijriyah, diantara kitab ulum al-Qur’an berkisar di sekitar pokok bahasan asbâb al-nuzûl, ilmu nasikh wa al-mansukh, ilmu ma Nuzzila bi al-makkah wama Nuzzila bi al-Madina. Tokoh-tokoh ulama yang menyusun kitab tersebut antara lain sebagai berikut:

a)    Muhammad ibnu Khalaf ibn al-Marzuban (wafat  309 H), mengarang kitab al-Hawi fi ‘Ulum al-Qur’an.

b)   Abu Bakar Muhammad bin al-Qasim al-Anbary (wafat 328 Hijriyah) mengarang kitab ‘Ulum al-Qur’an.

c)    Abu Bakar al-Sijistani ( wafat 330 Hijriyah) mengarang kitab Gharib al-Qur’an.

d)   Abu Muhammad al-Qashshab Muhammad ibn Ali al-Karakhi (wafat 360 H), kitabnya bernama Nuqat al-Qur’an ad-Dallat ‘al al-Bayan fi anwa’ al-‘ulum wa al-ahkam al-minbi’at ‘an ikhtilaf al-anam.

e)    Muhammad Ali al-Adfuwy (wafat 388 Hijriyah), mengarang kitab al-Istighna fi ‘Ulum al-Qur’an.

f)    Abu Hasan al-Asy’ary ( wafat 324 H), kitabnya bernama Al-Mukhtazan fi ulum al-Qur’an.

4) Abad V Hijriyah

Diantara kitab dan tokoh pengarangnya pada abad ke-5 adalah sebagai berikut:

a)    Abu Bakar al-Baqilany ( wafat 403 Hijriyah), mengarang kitab  I’jaz al-Qur’an.

b)   Al –Mawardy ( wafat 450 Hijriyah ) mengarang kitab amsal al-Qur’an.

c)   Abu Amar al-Dany ( wafat 444 Hijriyah), kitabnya bernama al-Taisir bi al-Qira’at al-Sabi’I dan kitab al-Muhkam fi al-Nuqath.

d)   ‘Ali bin Ibrahim ibn Sa’id al-Hufi (wafat 430 Hijriyah) mengarang kitab I’rab al-Qur’an, dan al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an.

Pada abad ke lima inilah dijadikan sebagai abad  ditemukannya kitab ulum al-Qur’an sebagi disiplin ilmu, jika berpedoman kepada kitab al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an yang dikarang  al-Hufy sebanyak 30 jilid, yang ditemukan seorang  ulama, Syeikh al-Zarqani yang dikutif  Manna al-Qathtan sebagai berikut,” Pembahasan ulum al-Qur’an secara menyeluruh dan lengkap dalam sebuah kitab diungkapkan oleh  Syeikh Muhammad  ‘Abdu al-Azim Al-Zarqany dalam kitab Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an yang ditemukan di sebuah perpustakaan Mesir ,dengan penulis Ali Ibrahim ibn Sa’id yang dikenal  al-Hufy dengan nama kitab al-Burhan fi ulum al-Qur’an sebanyak 30 jilid, 15 jilid ditemukan tidak beraturan dan  kurang berkaitan.  Penulis menyusun ayat-ayat al-Qur’an kemudian dilengkapi dengan ulum al-Qur’an yang dibahas secara tersendiri, baik dari segi makna, tafsir bi al- ma’sur maupun bi al-ma’qul, segi waqaf dan tamam serta dari segi qira’at. Maka al-Hufi dianggap sebagai pendiri  pertama Ulum al-Qur’an sebagai disiplin ilmu yang spesifik, beliau wafat 330 Hijriyah.[25]

Dengan ditemukannya bukti fisik kitab yang membahas ulum al-Qur’an secara spesifik karangan al-Hufy maka ulum al-Qur’an sebagai disiplin ilmu sudah ada sejak abad ke-5 Hijriyah.

5) Abad VI  Hijriyah

Diantara tokoh ilmu al-Qur’an pada abad ke-5 Hijriyah ialah:

a)   Abd Qasim Abd al-Rahman yang dikenal al-Suhaili ( wafat 582 Hijriyah), kitabnya bernama Muhammat al-Qur’an atau al-Ta’rif wa I’lam ubhima fi al-Qur’an  min asma’ wa al-‘alam.

b)   Ibnu Jauzy ( wafat 597 Hijriyah), kitabnya bernama Funun al-Afnan fi ‘Ajaib ‘ulum al-Qur’an dan kitab Al-Mujtaba fi ‘Ulumin Tata’allaq bi al-Qur’an.

6) Periode abad  VII dan VIII Hijriyah

Diantara tokoh ilmu al-Qur’an pada abad ke- 6 dan 7 Hijriyah antara lain:

a)    Alamuddin al-Syakhawy ( wafat 643 Hijriyah) , kitab bernama Hidayat al-Murtab fi al-Mutasyabih mengenai qira’at, dan kitab  Jamal al-Qur’an wa kamal al-Iqra tentang qira’at, tajwid, waqaf, Ibtida’, nasikh dan  mansukh.

b)   Al-‘Iz ibnu  Abdu al-Salam (wafat 660 Hijriyah)  dengan kitab bernama Majaz al-Qur’an.

c)    Ibnu Qayyim ( wafat 751 Hijriyah ) dengan kitab bernama Aqsam al-Qur’an

d)   Badrudin al-Zarkasyi ( wafat 794 Hijriyah) , mengarang kitab al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an

e)    Abu Hasan al Mawardi yang menyusun Ilmu Antsâl al-Qur’an, suatu ilmu yang membahas perumpamaan-perumapamaan yang terdapat dalam al-Qur’an.

f)    Ibnu Abi al-Isba’ yang menyusun Ilmu Badi’i al-Qur’an, suatu ilmu yang membahas macam-macam badi’ (keindahan bahasa dan kandungan ) dalam al-Qur’an.

g)   Najmudin al-Thufi ( wafat 716), yang menyusun ilmu Hujaj al-Qur’an atau ilmu jadal al-Qur’an, suatu ilmu yang membahas bukti-bukti atau argumentasi-argumentasi yang dipakai al-Qur’an untuk menetapkan sesuatu.

h)   Taqiyuddin Ahmad binTaimiyah al-Harani (wafat 728 H) yang menyusun kitab Ushul al-Tafsir.

Pada abad ke tujuh  dan delapan mulai tumbuh ilmu Bada’I al-Qur’an, Ilmu Hujaj al-Qur’an yang kemudian hari dikenal Jadal al-Qur’an. Tokoh ulama yang menyusun kitab ulum al-Qur’an ini pada umumnya sudah melakukan penelitian satu persatu juz al-Qur’an.

7) Periode abad IX dan X Hijriyah

Pada abad ke-8 dan ke-9 Hijriyah ini telah lahir beberapa kitab ulum al-Qur’an, antara lain sebagai berikut:

a)    Jalaludin al-Bulqiyany, wafat 824 Hijriyah yang mengarang kitab Mawaqi’ al-‘Ulum min mawaqi’i  al-Nuzum,

b)    Muhammad ibnu Sulaiman al-Kafiyajy, wafat 873 Hijriyah, mengarang kitab al-Taisir fi Qawaid al-Tafsir. Dalam kitab ini dijelaskan tentang syarat-syarat menafsirkan al-Qura’an dengan ra’yu.

c)    Jalaludin al-Suyuthy, wafat 911 Hijriyah, mengarang kitab  al-Tahbir fi ‘ulum al-Tafsir dan kitab terkenal  al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Dalam kitab ini terdapat 80 judul bahasan dari ulum al-Qur’an secara sistematis dan padat isinya.

c. Abad ke-13 dan 14 Hijriyah dan masa kini

Pada abad XIV Hijriyah, bangkit kembali ulama dalam penyusunan kitab-kitab yang membahas al-Quran dari berbagai segi. Kebangkitan ini diantaranya dipicu oleh kegiatan ilmiah di Universitas Al-Azhar Mesir, terutama ketika universitas ini membuka jurusan-jurusan bidang studi yang menjadikan tafsir dan hadits sebagai salah satu jurusannya. Pada abad ini juga sudah mulai banyak kitab-kitab yang meragukan al-Quran yang dilontarkan para orientalis dan orang Islam sendiri yang telah terpengaruhi pemikiran orientalis, serta telah dilakukan kegiatan-kegiatan penerjemahan al-Quran kepada bahasa-bahasa azam ( selain bahasa arab).[26]

Di antara ulama yang berjasa di abad ke-13 dan 14 Hijriyah dalam perkembangan ulum al-Qur’an antara lain sebagai berikut :

1)    Al-Syeikh Thahir al-Jazairy, kitabnya bernama al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’an.

2)   Jamaludin al-Qasimy, wafat 1332 Hijriyah, menulis kitab Mahasin al-Takwil.

3)   Muhammad Abd Al-Azhim al-Zarqany, kitabnya bernama Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân.

4)   Muhammad Ali Salamah, kitabnya bernama Manhaj al-Furqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân.

5)  Al-Syeikh Thanthawy  al-Jauhary, kitabnya bernama  al-Qur’ân wa al-‘Ulûm al-Ashriyyah.

6)   Mushtafa Shadiq al-Rafi’i, kitabnya bernama I’jaz al-Qur’ân.

7)   Sayyid Quthub, kitabnya bernama Al-Tashwir al-Faniy fî al-Qur’ân.

8)   Muhammad al-Gozaly, kitabnya bernama Nazharat fî al-Qur’ân.

9)    Muhammad Musthofa al-Maraghy, kitabnya bernama Al-Masalat Tarjamat al-Qur’an sebuah risalah yang menerangkan kebolehan menerjemahkan al-Quran, dan ia juga menulis kitab Tafsir al-Marâghi.

10) Dr. Shubhi al-Shalih, menulis kitab Mabˆahis fî ‘Ulûm al-Qurân. Kemudian diikuti Ahmad Muhammad Jamal yang menulis sekitar Mâ’idah.

11)  Muhammad Rasyid Ridha, kitabnya bernama Tafsir al-Qur’an al-Hakim yang terkenal dengan tafsir Al-Manar.

12) Syeikh Muhammad Abdullah Darraz yang menyusun kitab  al-Naba’ al-‘Azhim ‘an al-Quran al-Karim : Nazharat Jadîdah fî al-Qurân.

13)  Syeikh Mahmud Abu Daqiq yang menyusun kitab ‘Ulûm al-Qurân.

14)  Malik bin Nabi yang menyusun kitab Az-Zhahirah al-Quraniyah yang berbicara mengenai wahyu.

Demikianlah beberapa kitab yang membahas ulum al-Qur’an baik secara langsung nama kitab bernama ‘Ulum al-Qur’an atau secara tidak langsung yang merupakan salah satu cabang dari ‘ulum al-Qur’an. Dengan beberapa pokok bahasan kitab-kitab ulum al-Qur’an dari masa ke masa, maka perbendaharaan pembahasan tentang disiplin ilmu al-Qur’an semakin luas dan kompleks. Hal ini tentunya memberikan jalan kepada siapa saja yang memiliki kemampuan dalam bidang al-Qur’an baik secara mandiri ataupun kolektif untuk selalu menggali ilmu-ilmu al-Qur’an.

Perkembangan dari waktu ke waktu tentunya akan semakin kompleks karena kehidupan manusia semakin global. Bukan tidak mungkin serangan demi serangan untuk melemahkan al-Qur’an akan selalu datang. Seperti yang ada sekarang ini, Al-Qur’an dapat diakses siapa saja di internet baik itu Al-Qur’an digital, Al-Qur’an in word dan sebagainya, jika tidak dilengkapi ilmu dan kontrol dari lembaga tertentu mengenai ulum al-Qur’annya, maka penyelewengan Al-Qur’an oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab sangat terbuka lebar.

3. Simpulan

Kajian ulum al-Qur’an  adalah segala ilmu yang erat kaitan dengan intisari ajaran al-Qur’an baik dari segi penulisan, cara membaca, menafsirkan, asba an-Nuzul, nasikh mansukh, kemukjizatan maupun ilmu-ilmu sebagai sanggahan terhadap serangan atau yang melemahkan kemurnian al-Qur’an baik ditinjau dari aspek keberadaannya sebagai al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia atau berkaitan dengan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan aspek keperluan membahas al-Qur’an.

Pada fase sebelum kodifikasi penafsiran al-Qur’an langsung dijelaskan oleh Rasulullah saw, baik secara lisan maupun perbuatan. Pada fase kodifikasi metodologi ulum al-qur’an diperoleh melalui metode transmisi (periwayatan) dan ijtihad.

Tujuan mempelajari ulum al-Qur’an ini antara lain untuk mengetahui kandungan yang terdapat di dalam al-Qur’an, sehingga informasinya dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat.

Sejarah perkembangan Ulum al-Qur’an dibagi ke dalam dua periodisasi besar yaitu qabl `ashr at-Tadwîn ( fase sebelum kodifikasi ) dan fase kodifikasi. Fase sebelum kodifikasi dimulai sejak masa Nabi Saw masih ada sampai abad I Hijriyah. Sedangkan fase kodifikasi dimulai dari masa setelah perintah Ali bin Abi Thalib tersebut kepada Abu Aswad ad-Du’ali yang semakin berkembang pada masa Bani Umayah dan Bani Abbasiah.

Daftar Pustaka

Al-Qaththan, Manna’. (1972). Mabâhis fî ‘Ulûm al-Qurân. Riyadh :Manshûrât al-‘Ashr al-Hadîts.

Al-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-‘Azim, (t.t.) Manâhil al-‘Irfân, Dârl Fikr, Beirut : Jilid I, h.27

As-Suyuthi, Jalaluddin, (t.t.)Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr : Beirut.

Ash-Shiddieqy, Hasbi. (2010). Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, , Semarang : Pustaka Rizki Putra.

Azra, Azyumardi. (2008) Editor, Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an, Jakarta : Pustaka Firdaus.

Ibrahim, Ab Fadhil Muhammad. (1957).Al Burhân fî Ulûm al-Qur’ân, Kairo : Daru at Turas.Jilid 1.

Kementerian Agama, (2011) Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta : Adhi Aksara Abadi.

Shihab, Quraish. (1994). Membumikan Al-Qur’an, Bandung : Mizan Media Utama

Syamsuddin, Hatta. (2008). Modul Ulum al-Qur’an,  Surakarta: Pesantren Ar Royan.


[1] Kementerian Agama,  Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 377

[2] Ibid. h.212

[3] Dr. Azyumardi Azra, Editor, Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2008, h.39

[4] Manna’ al-Qaththan, Mabâhis fî ‘Ulûm al-Qurân,  Riyadh, Manshûrât al-‘Ashr al-Hadîts, 1972, h,.  15

[5] Ibid. h. 15 -16

[6] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2010, h. 1

[7] Manna’ al-Qathathan, Mabahits fi ‘Ulum al-ur’an, Mansyurat Al Ashr al-Hadits, 1973, h. 15-16

[8] Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân, Dârl Fikr, Beirut,t.t. Jilid I, h.27

[9] Manna’ al-Qathathan, Op.Cit, h. 16.

[10] Hatta Syamsuddin, Lc, Modul Ulum al-Qur’an,  Surakarta, Pesantren Ar Royan, 2008. h.6.

[11] Rosihan Anwar. Ulum Al-Quran, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm. 17-23

[12] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran, Dar Al-Fikr, Beirut,t.t., Jilid I.

[13] Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, Op. Cit. h.23

[14] Kementerian Agama Op. Cit. h. 417

[15] Rosihon Anwar. Op.Cit. h.24

[16] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Mizan Media Utama, Bandung, 1994.

[17] Ali Ibn Ibrahim ibn Said, Al-Burhan fi ulum al-Qur’an.

[18] Rosihan Anwar, Op.Cit. h. 19.

[19] Manna’ al-Qathathan, Op.Cit, h. 10

[20] Azyumardi Azra, Editor, Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2008, h.43

[21] Rosihan Anwar, Op.Cit. h. 19

[22] Manna Al-Qaththan, Op.Cit.., h. 12

[23] Ibid

[24] Manna Al-Qaththan, Op.cit.., h. 12

[25] Ibid. h. 12

[26] Ibid. h. 24.